Norpikriadi

Jelajah Jiwa

Kenapa Pahlawan Harus Ditulis

Tinggalkan komentar

teaandlead.blogspot.com

(Banjarmasin Post Senin 13 November 2006)

Oleh: Norpikriadi

Galibnya, 10 November kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Secara faktual momentum ini digunakan untuk mengenang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Namun secara ideal, ia diekspektasi sebagai sarana apresiasi terhadap nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung di dalam peristiwa tersebut untuk di-cover dan diselaraskan dengan situasi kekinian.

Dari kajian historis, Pertempuran 10 November terkategori ke dalam sejarah perang, yaitu sub bagian dari sejarah politik. Meski kepahlawanan tidak selalu harus lahir dari situasi perang, namun karena lebih memberi efek dramatik maka pahlawan peranglah yang biasanya paling diingat dan sering ditulis. Di sisi lain, menuliskan sejarah perang kerapkali harus terbentur pada masalah obyektivitas yang dipersyaratkan Ilmu sejarah itu sendiri. Dalam buku sejarah, Pertempuran 10 November memang berletak pada konteks Perang Kemerdekaan RI 1945-1949. Akibatnya, peristiwa ini sering tereduksi menjadi sekadar potret kepahlawanan bangsa pribumi versus penjajah asing yang jahat.

Kalangan annales yang pada abad ke-19 memotori munculnya kajian sejarah modern secara sinis mengatakan, sejarah perang adalah sesuatu yang kadaluarsa.[1] Sejarah perang, khususnya jika sekadar dipandang dari kacamata heroisme, memang potensial mengaburkan fakta untuk dapat tampil secara utuh. Sebab, dalam situasi perang yang hakikatnya merefleksikan perbenturan kepentingan, adalah lumrah sekiranya ada di antara “kita” yang karena alasan tertentu–mungkin dengan alasan yang sangat manusiawi–terpaksa harus berada di pihak lawan. Kepada mereka ini, kata Marko Mahin,[2] berlakulah kekerasan epistemik yaitu hanya dijadikan sebagai obyek sejarah, tokoh antagonis dalam rangka kultus seorang hero.

Jika dikembalikan kepada perannya selaku subyek sejarah, setiap manusia sesungguhnya mempunyai hak sama untuk ditulis secara adil, tanpa pendekatan normatif yang cenderung menghakimi. Mungkin inilah pangkal sebab, kenapa tema kepahlawanan terkesan “dinilai rendah” secara akademis. Lantas, apakah wacana ilmiah masih menyisakan ruang hidup bagi makhluk yang bernama pahlawan? Haruskah ia digusur saja atas nama obyektifitas (baca: angkuhnya) ilmu pengetahuan?

Pertempuran 10 November

Segala upaya perjuangan dalam rangka membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, bagi Bangsa Indonesia dimaknai sebagai bentuk kepahlawanan. Ini berlangsung pada masa revolusi fisik (1945-1949). Mungkin karena paling menonjol corak heroismenya di antara serentetan pertempuran pada masa itu, maka Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Tidak tanggung-tanggung, lawan yang dihadapi pada pertempuran ini adalah salah satu negara pemenang Perang Dunia II, yaitu Inggris. Kedatangan mereka sebagai wakil sekutu di Indonesia sebetulnya hanya dalam rangka kapitulasi resmi Jepang. Namun berhubung NICA mendompleng proses kapitulasi itu untuk memulihkan kolonialisme Belanda di negeri ini, Inggris pun kemudian terjebak dalam situasi konflik dengan pihak Indonesia.

Bermodal persenjataan yang seadanya (kebanyakan warisan dari tentara Jepang dan senjata-senjata tradisional), Arek Suroboyo tanpa ragu menghadang pasukan musuh yang dilengkapi persenjataan paling mutakhir pada masa itu. Dengan peta kekuatan kedua kubu yang begitu senjang, pertempuran itu gampang ditebak hasilnya. Kolonel Laurens van der Vost, seorang perwira intelijen Inggris, sebagaimana yang diungkapkan Rosihan Anwar[3] menegaskan dalam laporannya: “Dari 28 Oktober hingga akhir November 1945 ketika kami merampungkan operasi pembersihan di Surabaya dengan menggunakan kekuatan angkatan laut, udara dan darat, kami mempunyai 400 orang korban tewas (casualties). Sedangkan pihak Indonesia kehilangan kurang lebih 6000 orang yang tewas.”

Patut dicatat, di samping Arek Suroboyo sebagai “aktor utama” dalam pertempuran dahsyat tersebut, terjun pula para pejuang dari daerah lain meski mungkin dalam jumlah yang terbatas untuk membantu. Bahkan dari yang diungkapkan Tim Peneliti Sejarah Banjar[4] diketahui, tokoh revolusioner paling terkemuka di Kalimantan Selatan, Brigjend Hassan Basry, ternyata “alumnus” medan juang Surabaya.

Jika dilihat dari perbandingan jumlah korban seperti yang dilaporkan van der Vost di atas, nyatalah Bangsa Indonesia berada di pihak yang kalah. Namun seperti yang kerap terjadi dalam sejarah dunia, kalah dalam pertempuran tidak selalu berarti kalah dalam peperangan. Tak ingin terlibat lebih jauh ke dalam konflik RI-Belanda, Inggris akhirnya hengkang dari Bumi Pertiwi. Meninggalkan Belanda yang kerepotan sendiri menghadapi gerilyawan republik. Ketika mereka akhirnya bersedia menyerahkan kedaulatan pada akhir Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar, terbukti Bangsa Indonesia berhasil memenangkan Perang Kemerdekaannya.

Orang-Orang Kalah

Dari sekian sejarah revolusi di dunia, mungkin tak banyak kisah sukses seperti yang terjadi pada diri George Washington, Pahlawan Amerika. Pada masa pra revolusi ia seorang petani kaya dan tokoh terkemuka di Virginia. Sedangkan pada masa revolusi ia menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Amerika. Pasca revolusi ia menjadi Presiden AS pertama dan terpilih untuk dua kali masa jabatan. Ia pensiun dan meninggal sebagai orang terhormat, dan senantiasa dikenang sebagai Founding Father bagi orang Amerika.

Sementara pada revolusi Indonesia, ribuan korban dalam Pertempuran Surabaya hanya sedikit dari banyak kasus tentang kaum revolusioner yang tak sempat menikmati hasil perjuangannya. Kalau pun hidup, banyak di antara mereka–bukan hanya dari Surabaya–yang karena lugu, tak terdidik, dan tak terampil dalam memanfaatkan situasi pasca revolusi, harus masuk dalam kelompok yang termarjinalkan secara sosial. Bagi mereka seolah berlaku ungkapan: “Revolusi seringkali memakan anak kandungnya sendiri.” Sebaliknya, tak sedikit orang yang sama sekali tidak turut berjuang namun karena sebelumnya berpengalaman dalam birokrasi kolonial (sipil dan militer), justru lebih mudah mengakses kesempatan. Sejalan mentalitas bunglon khas politisi, mereka berlagak seolah paling republiken dan paling revolusioner, meski sebetulnya mereka berasal dari “tatanan lama”.

Tetapi sejauh yang terungkap oleh fakta yang ada, fenomena tersebut bukan cerita baru dalam sejarah ibu pertiwi. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang marak pada abad ke-19 misalnya, juga sarat dengan kisah pejuang bangsa yang berguguran di medan perang, ditipu dalam perundingan, dikhianati bangsa sendiri, atau dibuang jauh dari tanah kelahiran. Pandangan jujur akan hal ini mengharuskan kita berjiwa besar untuk mengakui, bahwa yang namanya pahlawan itu ternyata kebanyakan adalah “orang-orang kalah” secara realitas. Dalam arti, tidak berkesempatan menikmati hasil perjuangannya. Namun hakikat kepahlawanan memang bukan soal menikmati, melainkan tentang kerelaan berkorban–dengan nyawa sekalipun–demi memperjuangkan kebenaran.

Diponegoro, Antasari, Imam Bonjol, Pattimura atau pejuang lain pada abad ke-19, boleh saja dianggap sebagai pahlawan yang gagal dalam realitas. Namun kekalahan–atau bahkan kematian–mereka tidak lantas mencegah hidupnya spirit kepahlawanan mereka pada generasi berikutnya. Kepahlawanan para pendahulu itu justru menginspirasi kaum pergerakan sejak awal abad ke-20 untuk diambil spiritnya, lalu dipadu dan disempurnakan dengan nilai-nilai modernitas. Perjuangan yang bersifat kedaerahan mulai ditinggalkan, dan puncaknya ketika bangsa ini berada pada masa revolusi fisik 1945-1949. Saat itu, orang Jawa, Borneo, Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan lainnya tidak lagi berperang untuk daerah, suku, atau agama masing-masing, melainkan demi entitas tunggal bernama Indonesia. Ini yang terjadi di Surabaya, 10 November 1945.

Teladan

Mungkin karena tengah mengalami krisis keteladanan, maka pahlawan masa lalu kerap dihadirkan dalam konteks kekinian, yakni sebagai “penuntun” bangsa ini untuk melangkah ke tahap sejarah berikutnya. Jadi, keteladananlah kata kunci yang tepat kenapa pahlawan dan kepahlawanan harus tetap ditulis. Jika di dunia nyata nasib pahlawan seringkali tersisihkan, apa mereka harus tergusur pula dari dunia wacana?

Lepas dari bagaimana nilai akademisnya, karya sejarah yang bertema kepahlawanan harus tetap diberi tempat sebagai sarana bagi kita untuk selalu ingat, bahwa bangsa ini pernah memiliki generasi pemberani. Generasi yang meski dengan segala keterbatasannya, tak kekurangan nyali ketika berhadapan dengan tembok kokoh bernama kolonialisme. Siapa tahu lewat cara ini kita akan terinspirasi untuk berkeberanian dan bernyali seperti mereka ketika hendak memulihkan kondisi bangsa yang tengah babak belur karena luberan lumpur, kepungan asap, hentakan gempa, terjangan tsunami, dan terutama hantaman badai korupsi. Ibarat tembok, berbagai bencana itu bisa jadi sama kokohnya dengan kolonialisme dalam mengungkung gerak maju bangsa.

Selamat Hari Pahlawan.


[1] Bambang Subiyakto. Proklamasi 17 Mei dalam Perspektif Historis. Radar Banjarmasin Selasa 16 Mei 2006

[2] Marko Mahin. 2005. Tamanggong Nikodemus Ambo Djaja Negara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak. Lembaga Studi Dayak 21. Banjarmasin. Hal 95

[3] H. Rosihan Anwar. 2002. Kolonel Laurens van der Post di dalam In Memoriam Mengenang Yang Wafat. Kompas Jakarta. Hal 199

[4] Tim Peneliti. 2003. Sejarah Banjar. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Hal 374

Penulis: Norpikriadi

Seorang Pembelajar

Tinggalkan komentar