Norpikriadi

Jelajah Jiwa


8 Komentar

Mencari Citra Khalifah

pengawalkhilafah.blogspot.com

pengawalkhilafah.blogspot.com

Oleh: Norpikriadi

Gundah juga kala diendapi input bagaimana Islam dipolitikkan di negeri ini. Intensitasnya tentu saja meningkat pada masa kampanye Pilpres lalu. Upaya menyuekkan diri di ranah ini tertumbuk pada gegap-gempitanya aspirasi dan ambisi politik yang membisingi keseharian. Melalui interaksi singkat –dan tak singkat– dengan lingkungan sosial, mulai dengan rekan sekerja, kawan dan imam langgar di kampung, hingga dari hasil akses info media tentang sepak terjang elit politik di tingkat pusat sana, betapa dada disesaki dan serasa ditindih jika tidak mengemukakan sesuatu. Dari kegundahan itulah tulisan tak berstruktur ini diproduksi.

“Kalau Jokowi jadi presiden, Jakarta akan dikuasai non muslim!” kata Imam Langgar di kampung yang –jujur– tidak selalu saya makmumi (maklum, saya tak begitu rajin berjamaah di langgar). Diucapkannya itu saat saya menjawab pertanyaan yang ia ajukan tentang kecenderungan politik pada Pilpres 2014.

Betapa dahsyat nation building yang dibangun Founding Father dulu, hingga dinamika politik ibukota nun jauh di sana terasa denyutnya di satu sudut Kalimantan kami, di sebuah kota mungil yang mungkin membuat anda bingung bila ingin mencarinya di hamparan peta. Bahkan, seorang Imam Langgar di kota kecil ini memperlihatkan kepedulisan besar, tentang bagaimana dan oleh siapa seharusnya Jakarta dipimpin.

Oleh karena sang imam cuma bertanya sambil lalu, maka saya tak sempat menyertakan argumen untuk mengkritisi ucapannya. Jika Wagub Ahok yang non muslim naik pangkat jadi Gubernur Jakarta pasca ditinggal bosnya nyapres, lalu di mana salahnya? Aturan konstitusionalnya memang mengharuskan seperti itu. Bukankah Ahok mendampingi Jokowi sebagai Pemimpin DKI atas pilihan warga Jakarta juga, yang berpenduduk mayoritas muslim? Kegusaran kepada Ahok yang non Muslim atau kepada Capres Jokowi yang berwagub non Muslim, dalam hal ini jadi terkesan salah alamat. Jadi, kalaupun seorang non muslim dianggap salah ketika memimpin (memimpin, bukan menguasai) Jakarta, maka yang paling patut disalahkan adalah kelompok politik Islam yang gagal meraih simpati mayoritas penduduk muslim hingga burung kekuasaan lepas dari tangan. Menurut logika saya saja, ini.

Di sisi lain, mulai rekan sekerja, kerabat, hingga kawan sekampung tak kalah fasih mengartikulasikan “politik bersentimen agama” ini. Konstelasi politik bagi saudara-saudara semuslim ini simpel saja, kita (berarti Islam) atau mereka. Jokowi dalam dikotomi ini jelas tidak termasuk golongan kita. Maka segala hal yang berkaitan dengan tokoh ini, mulai latarbelakang religi, pengalaman, kapasitas, hingga style kepemimpinan dipahami sebagai representasi “bukan kita.”

Bertolak dari sini, kubu kita pun lalu terjebak pada kesibukan yang seolah tak berujung ketika menyoroti sisi negatif capres dari kubu mereka. Mantan Walikota Solo dan Gubernur Jakarta itu hampir tak ada kebaikannya selaku manusia dalam celotehan kita, jadinya. Jejak-jejak blusukan Jokowi, misalnya. Baik selaku pejabat maupun selaku capres terdampar dengan vonis pencitraan belaka. Sang “tervonis” sebetulnya telah berkali-kali dengan logika lugunya berargumen: “Kenapa saya suka blusukan ke kampung-kampung kumuh, kolong-kolong jembatan, korban banjir, pedagang kaki lima, perkampungan nelayan, karena dengan cara itu saya dapat mendengar langsung aspirasi masyarakat. Saya ingin tahu bagaimana keadaan sebenarnya dari kelompok akar rumput yang menjadi rakyat kita.”

Mengingat telah memetakan diri dalam posisi berseberangan, argumen itu kita nilai sebagai retorika belaka dalam rangka pencitraan tadi. Tak lebih. Bagi kita, kekuasaan mestilah merepresentasikan komposisi agama penduduk. Inilah seadil-adilnya takaran yang kita pahami dalam dunia politik. Sebuah “keganjilan” di mata kita apabila seseorang non muslim atau seseorang yang mewakili non muslim sampai berkuasa di tengah-tengah rakyat yang mayoritas muslim. Dan ini wajar, saya pribadipun memiliki kecenderungan sikap seperti itu. Hanya saja kita seringkali lupa, bumi tempat berpijak bukan lagi ranah teokrasi di mana wakil/khalifah-Nya di dunia telah digariskan secara genealogis sebagaimana era kekhalifahan, keemiran, atau kesultanan dulu.

Saat ini kita hidup dengan menjadikan demokrasi sebagai media suksesi. Kepemimpinan yang representatif-religi di tengah kehidupan berbangsa bernegara dalam hal ini tak lagi bisa sekadar bersandar pada “kehendakNya”, melainkan harus diperjuangkan melalui kontestasi politik. Atas ridhaNya tentu. Simpati publik mesti dimenangkan sebagai modal untuk meraih “tahta kekhalifahan.” Tidak usah heran (apalagi protes) apabila jualan paling laku di pasaran ini adalah produk yang bermerk pencitraan. Pemahaman akan hal ini mestinya mampu meminimalisir letupan emosi ketika kita memahamkan kata ‘pencitraan’ di ranah politik.

Teladan Pendahulu dan Kegagalan Meneladani

Jadi, sampai di sini anggap saja kita telah dapat menerima dengan legowo, bahwa berbagai aksi pencitraan Jokowi sebagai sebuah jualan politik yang laku bagi publik tanah air adalah sesuatu yang wajar. Pertanyaannya, kenapa tak ada elit kita, pemimpin dari golongan Islam, yang berbuat hal serupa? Padahal berani taruhan, jumlah pemimpin di negeri ini, mulai Ketua RT, Kades/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, hingga Menteri yang berasal dari golongan Islam pasti lebih banyak. Kenapa selama ini “para pemimpin kita” tidak ada yang seperti Jokowi, rajin turun ke bawah menyambangi rakyat, mendengarkan keluhan mereka, mencek langsung keadaan sosial ekonomi mereka, tak segan masuk ke gorong-gorong becek untuk memeriksa kondisinya sebagai salah satu sarana pencegah bencana banjir yang kerap menyapa rakyat? Kenapa? Risih atau jijikkah bila itu dapat menyebabkan tangan dan kemeja jadi kotor karena butir-butir debu dan lumpur yang menggelimangi masyarakat bawah? Jika itu alasannya, bukankah segenap noda akan bersih dengan sendirinya manakala terbasuh air wudhu yang minimal lima kali sehari mesti membasahi kita?

Padahal gaya kepemimpinan ala Jokowi itulah yang diteladankan Khalifah Umar bin Khatab (634-644 M) atau Penguasa Mongol Islam paling populer, Ghazan Khan (1282-1304 M) yang kerap –meski dengan diam-diam dan menyamar– turun ke tengah-tengah rakyatnya. Menerabas segala sekat birokrasi untuk melihat langsung dengan mata kepala sendiri keadaan riil rakyat yang dipimpin.   Pada sebuah penyamarannya, Umar menemukan seorang ibu yang terus-menerus memasak batu untuk menenangkan anaknya yang kelaparan. Kenapa batu, karena keluarga miskin itu telah kehabisan bahan makanan untuk di masak. Sesudah melakukan sesuatu untuk keluarga miskin itu, Sang Amirulmukminin diriwayatkan menolak roti, madu, dan makanan mewah lain yang biasa dihidangkan untuknya di istana. Inilah respon sang khalifah ketika mengetahui rakyatnya ada yang kelaparan. Kebiasaan turun langsung sebagaimana yang dilakukan salah seorang Khulufaur Rasyidin itulah yang kemudian membuat reputasi Ghazan Khan terkenal sebagai “sahabat rakyat.”

Ya ikhwan wa akhwat, kenapa Jokowi yang “bukan kita” yang lebih mencerminkan kepemimpinan para Amirul Mukminin pada era kegemilangan Islam dulu? Lalu di mana elit politik kita, elit Partai Islam, elit partai berbasiskan Islam, atau elit-elit yang mencitrakan diri sebagai Politisi Islam ketika rakyat Indonesia masih banyak berkubang dalam kedhuafaan? Ternyata, alih-alih menjelmakan diri sebagai Umar atau Ghazan baru, tak sedikit di antara mereka malah berlumuran kasus kejahatan berdasi. Seolah berlomba mereka menggerogoti harta negara yang sejatinya diperuntukkan bagi rakyat. Korupsi Hambalang, korupsi Asrama PON, mark up dana Al Qur’an, korupsi impor daging sapi, suap menyuap kasus pilkada, korupsi dana haji, hanyalah sebagian fenomena dan fakta yang terungkap bagi mata dan telinga kita.

Memang tak semua elit Partai Islam melakukan itu, dan tidak semua pelaku tindak kejahatan itu berasal dari Partai Islam, tapi apa bedanya? Di negeri ini, partai yang katanya berideologi nasionalis pun kerap dan intensif menggerek simbol-simbol agama demi meraup simpati kita selaku umat. Apalagi, meski bukan dari Partai Islam namun tak sedikit politisi korup itu tadinya besar dari organisasi-organisasi mahasiswa berlabel Islam.   Belum lama kita dikagetkan kasus korupsi dana haji, di mana salah satu kisah yang mengikutinya adalah tentang naik hajinya sang amirul beserta keluarga dengan fasilitas negara.

Hal yang amat bertolak belakang dengan teladan Khalifah Umar (selanjutnya Umar II) bin Abdul Azis (717-720 M) dari Dinasti Umayah yang mestinya menginspirasi. Suatu kali khalifah ini mematikan lampu istana ketika melayani seorang sahabatnya yang mengaku bertamu untuk urusan pribadi. Ketika sang sahabat marah, Umar II berkata, “Lampu itu milik rakyat. Saya tidak kuasa menggunakannya untuk kepentingan pribadi.”

Sedikit komparasi itu cukuplah sebagai gambaran, tentang betapa berjaraknya khalifah-khalifah era kini dengan rakyatnya. Tidak aneh apabila mereka terkesan kurang (untuk tidak mengatakan tidak) memiliki daya empati terhadap kondisi riil rakyat sebagaimana yang dimiliki khalifah-khalifah dahulu. Baik yang tertangkap mata maupun melalui media, betapa perilaku hedonis mewabahi gaya hidup mereka yang masuk kategori pemimpin umat, pemimpin kita. Di tengah maraknya “penggerogotan harta negara” sebagai penunjang hedonisme tersebut, ironisnya ada petinggi “partai kita” berucap, “Agama memang menganjurkan kita untuk menjadi kaya!”

Ya Rabbhaqqul yaqin, kita semua pastilah paham akan hal itu, bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah karena sedari ingusan kita telah diajarkan itu. Masalahnya ya Amruu, tidak terletak pada boleh tidaknya kita menjadi kaya, tapi lebih pada soal bagaimana harta itu diperoleh saat secuil takhta (baca: kekuasaan) dianugerahkanNya ke tangan kita.

Ia barangkali lupa sejarah emas tentang kejuhudan dan kewaraan pemimpin umat terdahulu. Umar II misalnya berucap Innalillah, bukan alhamdulillah, kala menerima amanah rakyat sebagai Khalifah VIII Dinasti Umayah. Kekuasaan baginya laksana musibah ketimbang anugerah. Umar II yang lahir di istana, tumbuh dan hidup sebagai pangeran serba mewah, namun begitu resmi dilantik selaku khalifah segera menyerahkan seluruh kekayaannya ke kas negara (bait al-mal). Masa sebelum menjabat khalifah, Umar II memiliki tanah perkebunan yang menghasilkan 40.000 dinar setahun. Saat wafat hanya 17 dinar yang tersisa. Tujuh dinar digunakan untuk biaya pemakaman, 10 dinar dibagikan kepada 11 orang anaknya.

Sesuatu yang mirip dapat kita temukan pada Sultan Salahuddin al Ayubi (1174-1193 M). Untuk ukuran masa itu ia adalah manusia paling berkuasa di muka bumi, mengingat wilayah kekuasaannya membentang dari Sungai Nil hingga Sungai Eufrat. Tapi saat ajal menjemputnya ternyata ia hanya mempunyai selembar kain kafan lusuh yang selalu ia bawa dalam setiap perjalanannya. Ancaman kematian memang selalu mengintai sang Sultan, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di jalan jihad. Hanya ada uang senilai 66 dirham di dalam kotak besinya. Untuk penguburannya, pengurus jenazah harus berhutang terlebih dahulu. “Hartanya,” demikian kata Imanuddin penulis biografinya: “banyak ia serahkan pada mereka yang membutuhkan.”

Sebagai Pendekar Muslim yang berhasil mendepak kaum fanatik Eropa dari al-Qadisiya (Yerusalem) dan menangkis serbuan demi serbuan berikutnya, Salahuddin untuk ukuran zamannya diakui sebagai ‘Orang Terkuat di Muka Bumi,’ tapi salah satu panggilan kehormatannya adalah “Pelindung Orang-Orang Lemah.”

Bagi keempat Amirulmukminin di atas, kekayaan ternyata bukanlah sesuatu yang dicari –meski dianjurkan agama– ketika kekuasaan ada dalam genggaman. Sebaliknya, justru kekayaan pribadi digunakan sebagai ‘penyuci’ kekuasaan yang rentan kotor itu. Jika dipelajari masa kepemimpinan masing-masing, sebagian besar Pemimpin Orang-Orang Mukmin tadi menghadapi tantangan yang sama, yakni kala masyarakat muslim tengah dilanda penyakit ubud dun-ya/hedonisme, serta mementingkan diri/kelompok/suku di atas segalanya. Alhasil pemimpin yang lahir dari situasi itupun umumnya mencerminkan karakter dan mentalitas seperti itu. Rakyat dalam hal ini lebih diposisikan sebagai obyek eksploitasi untuk menunjang kehidupan mewah para elit yang korup. Bangsa pada gilirannya rentan terpecah, dan ini menjadi celah bagi masuknya intervensi luar. Khusus Umar II, Ghazan Khan, dan Salahuddin dengan sendirinya menjadi antitesis ketika mereka tampil sebagai pemersatu, pelindung, sekaligus penguat rakyat yang lemah.

Dalam konteks inilah barangkali kita dapat lebih arif dalam memahami, kenapa rakyat kecil atau wong cilik atau kelompok akar rumput atau kaum dhuafa atau apapun namanya yang selama ini berada dalam tekanan demi tekanan hidup, lebih bersimpati kepada sosok yang secara nyata mau menyambangi mereka, menyapa dan mengajak mereka bicara. Tidak melalui instruksi dari meja kerja, tetapi langsung muncul di muka rumah mereka. Sosok nyata yang mau menyediakan telinganya untuk mendengar keluh kesah mereka.

Patut memang diragukan, bahwa orang-orang lemah bangsa kita pernah secara khusus mempelajari Sejarah Islam hingga kenal dengan keempat pemimpin kaum mukmin di atas. Tetapi dalam memandang pemimpin, pada dasarnya mereka mencari gambaran/citra tokoh-tokoh tadi sebagai pembela mereka. Rakyat kecil secara naluriah pastilah mencari sosok pelindung bagi mereka selaku korban dari sistem kekuasaan yang korup. Kebetulan Walikota Gubernur Capres Jokowi yang faktanya kerap tertangkap mata dan telinga publik mempraktikan ini. Maka tidak aneh apabila di mata rakyat, citra atau gambaran ‘Pelindung Orang-Orang Lemah’ begitu lekat di dirinya.   Bahwa kemudian pencitraan itu menjadi modal politik bagi Jokowi dalam Pilpres RI 2014, lha kenapa kita protes? Rakyat memang mencari itu. Mereka mencari gambaran pemimpin sempurna bagi mereka. Mereka mencari citra ‘sahabat rakyat’.

Elit-elit kita, yang katanya mewakili kelompok-kelompok Islam, bahkan yang terkadang diklaim mewakili Islam itu sendiri, sebetulnya telah banyak mendapatkan kesempatan untuk menampilkan citra yang sama. Seperti yang telah disebutkan, dari Ketua RT, Kades/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, hingga Menteri (belum lagi yang di legislatif dan di yudikatif), sedari dulu mayoritas berasal dari “kelompok kita”, kelompok Islam. Tetapi citra semacam itu seperti menjauh dari mereka. Yang mencuat ke permukaan malah citra negatif tentang diseretnya sebagian (cuma sebagian) mereka oleh KPK karena kasus-kasus korupsi.

Tidak heran apabila nama mereka kian jatuh di mata publik. Upaya sungguh-sungguh untuk merangkul rakyat lemah dengan tanpa diskriminatif, ini yang kini jadi tugas kita dan pemimpin-pemimpin kita.

Semoga Imam Langgar yang menginspirasi tulisan ini dapat berdialog dengan makmumnya tentang masalah ini, suatu kali. InsyaAllah.

*Tulisan ini tak berpretensi mengarahkan opini ke capres tertentu karena percuma, pilpres toh sudah lewat? Sekadar otokritik pada sepenggal pemahaman keagamaan yang turut mewarnai pesta demokrasi itu, yang sedikit membuat saya gundah. Sebuah tulisan yang tak penting.

*Data Sejarah di antaranya diambil dari ‘Orang-Orang Muslim Berjasa Besar Pada Dunia’ karya Imam Ahmad Ibnu Nizar, ‘Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam’ karya M. Abdul Karim, ‘The Book of Saladin’ karya Tariq Ali. Sebagian sumber lagi berupa komik-komik kehidupan Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau yang saya baca semasa kecil. Penerbit dan Penulisnya mohon maaf sudah lupa tapi isinya begitu melekat dalam ingatan.