Norpikriadi

Jelajah Jiwa

Nasionalisme Di Warung Ubay

22 Komentar

foto: deedoodl.com & missdianeblogspot.com

Oleh : Norpikriadi

“Bayy…!!!” mendadak Andre muncul di mulut warung. Mengagetkan Rahmat dan Irfan, dua sobatnya yang lebih dulu ada di situ. Tak kalah kaget si Ubay, pemilik sekaligus pelayan warung. “Emm..minuum Dree???” Masih dalam kekagetan, reflek ia bertanya.

“Iyyap! Es susu sirup!” jawab Andre sambil menghempas duduk di sisi Rahmat. Sementara Irfan duduk di seberang meja. Ketiganya menyisi jendela warung. Terik kemarau siang itu mendahagakan hingga ke sore hari. Maka minuman dingin pun jadi pilihan pas.

Saat Ubay masih menyeduh pesanannya, Andre yang Sarjana Hukum itu berucap lagi: “Kalo bisa jangan diaduk, ya? Biar warna merah sirupnya ada di bagian atas gelas, dan putih susunya di bagian bawah, oke?”

Kedua kawannya tergelak. Sementara penyeduh minuman cuma meringis, mengabaikan request aneh sang pelanggan.  Mereka paham Andre cuma bergurau, meski ada makna di baliknya. Maklum, kalender yang tengah mereka titi sudah memasuki Agustus. Bulan di mana banyak orang Indonesia mendadak tebal nasionalismenya.

Di mana-mana, mulai kampung pelosok hingga mal-mal di pusat kota, tiba-tiba penuh nuansa merah putih. Di depan-depan rumah, sekolah-sekolah, perkantoran, dan di lain-lain tempat. Atmosfer itulah yang hendak dibawa Andre ke gelas minuman. Absurd.

“Aku mau berkisah soal bendera,” ujar Andre seusai menghabiskan separuh es susu sirupnya—yang tentu saja hanya berwarna pink, bukan Dwi Warna—dalam beberapa tegukan. Haus nian rupanya.

Kedua kawannya langsung pasang ekspresi menyimak. Pun Ubay. Ia turut duduk. Keempat orang ini memang teman sebaya sekampung, dan satu leting dari SD hingga SMP. Walaupun selepas itu mereka terpencar ke Sekolah Kejuruan, ke SMA, dan ke Madrasah Aliyah. Begitu juga ketika kuliah, tak pernah lagi mereka terkumpul dalam satu ruang belajar. Namun satu hal, hingga rata-rata berusia 35 tahun, persahabatan mereka tak pernah pupus.

“Kalian pastinya juga sudah tahu, sejak akhir bulan lalu di pojok-pojok jalan bermunculan penjual bendera musiman….” Andre memulai cerita. Menurutnya orang-orang itu, para penjual bendera itu, cuma memanfaatkan momentum Agustusan demi isi kantong. “Tapi harus diakui. Untuk menarik minat pembeli, mereka sangat kreatif. Ada yang terus-terusan memutar musik perjuangan, ada yang sengaja berkostum ala pejuang, dan ada yang mengibar-ngibarkan sang saka sambil teriak merdekaaa, merdekaaa, MERDEKAAAA…!!!”

“Lalu…,” Irfan menyeruput kopi hitamnya yang sisa setengah gelas. “Di mana salahnya?” tanyanya datar.

“Ya nggak ada sih, cuma tidakkah itu terkesan mengomersilkan hal-hal yang mestinya diletakkan dalam konteks idealisme bangsa. Tabu!” Andre mengibaskan tangannya. “Tidakkah kalian melihat ada ironi di sini? Kalau dahulu sekedar mengibarkannya saja bisa mengundang peluru NICA, lha sekarang kok bendera itu dikibar-kibarkan untuk mengundang duit? Pejuang ’45 akan menangis bila melihat ini!” sambungnya berapi-api, dan… bombastis.

Irfan melihat kilasan senyum kecil Rahmat dan Ubay. Semuanya maklum. Di antara mereka, Andre yang berprofesi sebagai notaris itu memang yang paling idealis. Hampir segala hal ia kritisi.

“Apakah para pejuang dan pendiri bangsa akan tertawa bila melihat rakyat penerusnya ada yang kelaparan, Dre?” tanya Irfan.

“Maksudmu?”

“Mereka memerdekakan bangsa ini, mendirikan negara ini, tentu maksudnya agar jadi sumber penghidupan lebih baik bagi segenap rakyatnya,” jawab Irfan. Sebagai seorang pengusaha, kontraktor untuk tender-tender proyek, ia memang tak seidealis kawan-kawannya. Realistis, bahkan terkadang pragmatis merupakan sikap yang biasa ia ambil dalam menjalani hidup. “Nasionalisme atau patriotisme itu soal rasa. Tapi pada akhirnya kan, semua terpulang pada soal bagaimana negara ini menjadi wadah bagi rakyat untuk hidup, dan dihidupi?”

Rahmat, lebih-lebih Andre diam. Terbius pada gaya bicara Irfan yang retoris. Sementara Ubay tak begitu fokus, karena–meski dibantu istri dan satu asisten perempuan–kadang ia harus beredar kesana-kemari, melayani pesanan pengunjung lain. Tetapi ia hapal dengan situasi warungnya bila ketiga kawannya tadi ada di situ, dan mulai meributkan sesuatu. Semuanya bakal terfokus pada mereka, atau pada apa yang mereka ributkan. Andai update kosakata, pastilah tanpa ragu Ubay menyebut ketiga kawannya itu sebagai opinion leader.

“Jadi, penjual bendera musiman itu tak punya beban ideologis apa-apa,” sambung Irfan. “Apa yang mereka lakukan semata demi mencari nafkah. Demi menghidupi keluarganya di negara merdeka ini. Bahwa kenapa yang ia perdagangkan adalah bendera, ah itu kan cuma karena faktor permintaannya saja, yang memang meningkat di bulan Agustus ini? Soal hukum pasar saja. Nah, dalam konteks ini kita tentu maklum jika merah putih terdampar sebagai komoditas yang mendatangkan laba,” pungkas penyandang gelar SE itu seraya membakar rokok mildnya. Menghisap dan menghembuskannya dalam kepulan-kepulan kecil.

“Sepertinya Irfan benar, Dre!” Rahmat yang berprofesi guru SMA menimpali. Ia menyelesaikan bakwan goreng dalam gigitan terakhir. “Lagipula…” lanjutnya. “Keberadaan penjual merah putih pinggir jalan itu, turut membantu orang-orang yang tadinya mungkin malas membelinya langsung ke toko. Jadi, sedikit-banyaknya mereka juga berperan dalam pengkondisian rasa kebangsaan masyarakat.”

Dikeroyok dua orang, Andre jelas kalah argumentasi. Cuma agar ia tak terlalu terpojok, naluri bijak seorang guru mendorong Rahmat menetralkan. “Tapi Fan…” katanya menatap Irfan.

“Apa, Ru?”

‘Kurasa Andre tak sepenuhnya salah,” lanjut Rahmat yang oleh kawan-kawannya dipanggil Ru atau Guru, sesuai profesinya. “Notaris kita ini cuma kurang pas ketika menumpahkan kegelisahan patriotiknya pada rakyat kecil, para penjual bendera itu. Secara substantif pemikiran Andre masih menyimpan relevansinya jika diletakkan dalam konteks yang tepat.”

Sontak Andre menegakkan tubuhnya. Tersenyum menahan luapan rasa bangga yang datang tiba-tiba. Ia memalingkan wajah ke Rahmat di sisinya. “Kiranya guru sudi untuk menunjukkan arah yang tepat, hingga kita-kita tercerahkan,” ujarnya dengan gaya lebay, bikin Irfan di seberang meja dan Ubay yang kembali ke ‘lingkar diskusi’ jadi terkekeh.

“Soal nasionalisme yang dikapitalisasi baru relevan jika diletakkan dalam kasus besar, yang melibatkan pelaku-pelaku besar pula. Semisal jika ada mark up dana anggaran untuk penyelenggaraan perayaan HUT Kemerdekaan, yang keuntungannya masuk ke kantong pribadi. Tapi ini jika ada lho ya? Aku sendiri tidak tahu apakah itu ada atau tidak, hehe.. “ Rahmat ketawa sendiri dengan pernyataannya.

“Itu sih, cuma contoh saja,” sambung Rahmat. “Nah, kalau ada kejadian seperti ini, baru patut dikatakan para pejuang ’45 akan menangis. Bahkan jika manipulasi uang negara itu terjadi di luar momen 17-an, bisa dipastikan mereka tetap akan menangis.”

Kali ini giliran Rahmat yang menyihir perhatian ketiga orang kawannya. Pun pengunjung warung Ubay lain. Semua pasang mata tertuju padanya.

“Sebab, bagaimanapun orang-orang yang dulu berjasa memerdekakan kita dengan segala pengorbanannya, tentu tak mencita-citakan negeri ini menjadi sapi perahan bagi para benalu!” Rahmat menggenapi retorikanya dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, bak pejuang ’45 yang tertawan di bawah todongan senapan musuh.

Semua terdiam. Hening. Sampai kemudian, Andre memecah kebisuan dengan berucap: “Sepertinya kita semua sepakat bahwa para penggerogot aset negara, sama kejamnya dengan penjajah masa lalu. Bukan begitu Bay?” ucapnya sambil menepuk lengan Ubay yang nama sebetulnya adalah Baiquni. Pemilik warung itu gelagapan: “Emhh.. emhh..”

Ketiga kawannya tertawa. Ubay sadar, ia tak sepandai kawan-kawannya. Kondisi keuangan keluarga membuatnya terpaksa putus sekolah di Kelas 2 SMP. Sebagai sulung dari tiga saudara ia harus full membantu ibunya berjualan di warung untuk melanjutkan hidup mereka. Bapaknya meninggal sebagai korban lakalantas saat membeli keperluan warung.

Ubay bersyukur ketiga orang ini tetap menjadi teman akrabnya, sama seperti mereka kecil dulu. Membincang apapun mereka tak pernah mengabaikannya. Meski kadang perbincangan mereka agak ‘tinggi’, mereka tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran Ubay yang cuma lulusan SD.

Tanpa sadar wawasan Ubay bertambah karena sering menyimak obrolan canggih ketiga kawannya yang sarjana tersebut. Cuma ya itu tadi. Apapun yang terjadi ia lebih memilih jadi pendengar yang baik saja. Lagipula sebagai pewarung memang lebih taktis untuk tak memihak siapapun jika terjadi polemik. Netralitas memang sebuah keniscayaan bagi pebisnis untuk mengikat para pelanggan yang beragam pola pikirnya, jieehh… canggih juga mindset pemilik warung ini.

“Dimintai pendapat malah senyum-senyum sendiri?” ucapan Andre menyadarkan Ubay yang langsung tersipu. Kawan-kawannya kembali menertawakannya.

“Merdekaaa…!!!”

Tiba-tiba segenap pengunjung Warung Ubay dikejutkan sekelompok remaja tanggung di mulut warung. Mereka datang dengan pekik kebangsaan. Beberapa di antara mereka berikat kepala merah putih. “Maaf mengganggu Oom… Kami meminta sumbangan untuk kegiatan lomba 17-an!” kata seorang dari mereka dengan gaya yang terkesan seperti Komandan Gerilya. Ia kemudian menyuruh kawan-kawannya yang membawa kardus mie untuk beredar ke segala sudut warung.

Sebentar saja dua buah kardus yang beredar telah dihujani lembar-lembar rupiah, mulai yang berwarna kuning, merah, hijau, biru,  sampai yang ‘merah’. Sesukanya, serelanya, semampunya. Kemurah-hatian yang dilandasi rasa kebangsaan ini hanya bisa ditandingi oleh semangat bersedekah orang-orang itu, ketika dimintai sumbangan untuk kegiatan keagamaan.

Tiba-tiba salah seorang pemegang kardus sumbangan tampak ragu-ragu ketika seorang pria dewasa menjulurkan selembar 50 ribuan. “Maaf Om, sepertinya Om bukan orang sini. Kami cuma berani minta sumbangan dari orang kampung sini saja Om, karena kegiatan lombanya juga cuma dilaksanakan di sini,” kata remaja itu canggung.

“Ah, nggak papa, terima saja. Kami ikhlas kok!” sahut sang penyumbang yang tampaknya musafir dan kebetulan singgah istirahat plus mengisi perut di Warung Ubay. Kampung ini, juga warung ini, memang berada di lintasan jalan AKAP. Ia tampak bersama istri dan dua anak perempuannya. Sementara mobilnya terparkir di sisi jalan depan warung.

“Iya, terima saja,” tambah istrinya. “Anggap saja kami turut bergembira dengan perayaan kemerdekaan kita.”

“Eh bocaahh…!” Andre turut menimpali dari tempatnya duduk. “Kalian pikir kakek-kakek kita dulu berjuang demi kampungnya? Ya enggaak lah! Perjuangan mereka tak dibatasi wilayah. Mereka melawan penjajah di mana saja, di setiap punya kesempatan, sekalipun itu jauh dari kampung sendiri. Bahkan ada yang sengaja ke pulau lain untuk berjuang. Kenapa, ya karena mereka berjuang atas dasar kebangsaan, bukan atas dasar kekampungan. Sudah, terima saja!”

Roman muka sang musafir sontak berona bangga, karena dirinya dianalogikan dengan heroisme pejuang era lalu. Sementara para anak remaja itu tak sungkan lagi menerima sumbangan ‘orang luar’ tersebut.

“Makasih om, makasih bapak ibuu…” kata ‘Komandan Gerilya’ tadi. “InsyaAllah sumbangan ini benar-benar akan kami gunakan sesuai dengan yang dihajatkan, yaitu untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan. Sekali lagi terimakasih! Kami pamit. Masih banyak tempat lain yang belum kami datangi, ” tambahnya dengan santun.

Tapi buru-buru Ubay menahan ketika mereka akan pergi. “Kalian tentu capek sesudah mendatangi rumah-rumah minta sumbangan. Sekarang kalian minum dan makan dulu di sini, terserah pesan apa saja. Gratis! Anggap saja ini bagian dari perayaan kemerdekaan kita,” katanya.

Sontak anak-anak Gen-Z itu bersorak gegap-gempita. Tapi Ubay belum selesai. “Ini juga berlaku bagi semua pengunjung Warung Ubay hari ini, semuanya digratiskan!” tambahnya mengumumkan.

Andre dan Rahmat memandang Ubay yang spontan mengodekan gerak mulutnya ke arah Irfan. Maklumlah mereka. Sebagai pengusaha, Irfan memang kerap dinilai sebagai seorang pragmatis. Tetapi mereka sangat paham bahwa ia tak pernah berhenti pada penilaian orang. Cara ia menggunakan kelebihan rezekinya, membuktikan bahwa ia dengan siapa pun yang ada di Warung Ubay hari ini, sama idealisnya. Sama nasionalisnya.

Editor : Daud Yahya

*Cerita ini dikarang dengan dua mimpi:

1. Hendak diikutkan Lomba Kemendikbud bertema #RAYAKANMERDEKAMU, tetapi gagal  karena CERPEN tak masuk kualifikasi karya yang dilombakan: video dan artikel.

2. Cerita disetting dengan suasana yang seolah-olah telah bebas dari cengkeraman wabah korona, meski pada kenyataannya sama sekali belum. Faktanya tahun ini, 2021, sepertinya menjadi tahun kedua di mana kemeriahan perayaan 17-an belum akan kembali.

Penulis: Norpikriadi

Seorang Pembelajar

22 thoughts on “Nasionalisme Di Warung Ubay

  1. Salam kenal, Mas. bermula dari topik pilihan di kompasiana, saya langsung berlari ke sini, hehehe. Terlepas dari beberapa kesalahan penulisan, cerita ini bagus sekali, mengalir natural. Saya suka … saya suka.

    Disukai oleh 1 orang

  2. semangat mas… hebatt

    Disukai oleh 1 orang

  3. Mengalir. membuat larut dalam suasana

    Disukai oleh 1 orang

  4. Sangat menginspirasi pak kemasan yang menarik dengan tidak memfokuskannya kepada satu titik. Salam literasi

    Disukai oleh 1 orang

  5. Keren karyanya Pak. Salam kenal.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Tersingkap harapan tentang keinginan memeriahkan Hari Kemerdekaan dalam keramaian 🙂
    cerpen yang inspiratif, Mas.
    Salam

    Disukai oleh 1 orang

    • Demikianlah Mas Ozy, buncahan rindu akan suasana khas 17-an yang sejak dua tahun ini hilang, akhirnya hanya bisa terekspresi lewat gurat-gurat cerita khayal, hee… makasih sdh mampir dan apresiasinya. Salam literasi.

      Suka

  7. Settingnya sangat natural, di warung dengan beragam interaksinya. Kereen Mas

    Disukai oleh 1 orang

  8. Semoga makin banyak orang yg punya nasionalisme dan kesadaran seperti mereka yang ada di Warung Ubay.

    Juga soal hobi mereka utk debat dan diskusi, beda pendapat tanpa harus kemudian bermusuhan.

    Disukai oleh 1 orang

    • Amien ya Rabb.. soal nasionalisme.
      itu dia Pak Handoko, miris hati kita manakala menyua betapa barbarnya gaya debat di era kekinian, khususnya di media2 sosial. Artikulasi pemikiran dengan ujaran kebencian seolah susah dipisahkan dalam dialog yang mestinya sarat keguyuban. Meski target kesamaan pendapat mungkin saja tidak sampai, mestinya satu sama lain tetap memandang sebagai saudara. Salam literasi Pak! Makasih sudah berkenan mampir.

      Disukai oleh 1 orang

  9. mampir dulu nah pak

    Disukai oleh 1 orang

  10. Keren mass!

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar