Norpikriadi

Jelajah Jiwa

Patahnya Sang Merah Putih

Tinggalkan komentar

Foto: CapCut

Kamis, 9 November 2023.

Batang bambu itu dengan merah putih di puncaknya berdiri tegak, menunjuk langit sore. Baru saja Bara menyimpul talinya kuat-kuat pada sudut pagar rumahnya yang juga berbahan bambu. Untuk beberapa jenak ia mendongak, memandang puas bendera yang berkibar pelan oleh hembusan angin yang menyepoi. Bahkan sesudah duduk di bangku halaman–yang lagi-lagi terbuat dari bambu–matanya masih tak lepas dari Sang Dwi Warna.

Sebagai proyek desa untuk Agustusan, tiga bulan lalu Pak Januar, Sekdes di kampung mereka sebetulnya telah membagi-bagi tiang bendera kayu kepada penduduk, termasuk keluarganya. Tetapi Bara tetap menggunakan tiang bambu, baik pada perayaan kemerdekaan lalu maupun untuk Hari Pahlawan besok. Baginya bambu terasa lebih terhubung dengan perjuangan para pendahulu, saat mereka membela merah putih di era revolusi. Tentu saja ini mengacu pada bambu runcing yang telah jadi simbol kepahlawanan angkatan ’45. Sekalipun bukan level Sten Gun, Karaben, atau Meriam Belanda, tapi jika di tangan yang tepat, bambu runcing bisa sangat mematikan. Oleh banyak kesaksian, bambu runcing kerap memenangkan duel satu lawan satu melawan bayonet serdadu musuh.

“Belum kauganti tiangnya, Ra? Rasanya sudah dua tahun!” Dulgani (Abdul Gani), pamannya Bara, muncul dan langsung duduk di sisinya. Pria 40-an itu juga menatap bendera.

“Emh… Iya Paman! Sepertinya masih cukup kuat sih, InsyaAllah,” sahut Bara sedikit kaget oleh kehadiran pamannya yang tiba-tiba.

“Kalo dipikir-pikir ironis juga. Untuk menunjukkan rasa cinta tanah air, kita warga negara, selalu disuruh-suruh memasang bendera setiap ada momen kebangsaan. Sementara mereka yang menyuruh, para penguasa itu, perilakunya justru sering mengkhianati tanah air.” Paman Gani memulakan ‘kata-kata beracun’-nya.

Bara tatap pamannya dengan sorot mata yang seolah bertanya, kendati ia telah menangkap arah lidah adik ibunya itu.

“Lha, ituu… Para koruptor! Apa kaupikir mereka seperti para petani penggarap, pedagang kaki lima, buruh, atau orang-orang kecil lain yang menjalani hari-hari dengan memeras keringat demi bertahan hidup? Yang meski begitu tapi tetap tanpa pamrih menyukuri dan menyintai negeri ini sebagai tanah tempat mereka lahir, dan tempat bersemayam dalam keabadian nantinya? Apakah koruptor seperti itu? Tidaakkk….!!! Koruptor adalah orang-orang terdidik, berduit, terhormat, berjas berdasi, dan berseragam dinas dengan gelimangan fasilitas negara. Mereka orang-orang besar, saaarrr…!!!” Paman Gani membentangkan kedua lengannya. Ekspresi wajah dan nada bicaranya begitu geram.

“Tetapi kebesaran itu tak pernah bisa menyamai ruang keserakahan mereka yang super jumbo!” Paman Gani memberondongkan kenyinyiran bak hamburan peluru serdadu NICA yang panik karena markasnya dikepung para pejuang. “Sumber alam yang berlimpah menjadi percuma. Gagal memakmurkan rakyat gara-gara polah para benalu yang terus-menerus menggerogoti negeri kita. Kehormatan jabatan menjadi kamuflase sempurna untuk kejahatan luar biasa ini, kurang ajar memang!” Ia memukulkan genggaman tangan kanannya ke telapak tangan kirinya dengan segenap-genap murka.

“Merekalah sebenar-benarnya pengkhianat negeri. Jauh melencengkan perjalanan kita dari cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa dulu,” sambungnya dengan geraham menggelutuk.

“Ups, santai dikit Paman!” Bara sedikit tak enak dengan sang paman yang langsung ngegasss.

“Tak bisa santai kalo membicarakan para perusak negeri, tak bisa slow kalo menyangkut para durjana….”

Kalimat demi kalimat berikutnya dari Paman Gani tak begitu masuk lagi di telinga Bara. Perhatiannya teralihkan pada langit sore yang tadinya cerah jadi menggelap. Bukan karena mendekati senja, karena arlojinya baru menunjuk angka lima kurang seperempat. Langit betul-betul mendadak mendung. Awan menyatu.

Memasuki November, kemarau panjang yang melanda Indonesia tampaknya akan segera berakhir. Hujan mulai mengguyuri beberapa daerah. Sepertinya di sini pun akan hujan, Bara membatin. Seiring dengan menghitamnya langit, angin yang tadinya sepoi-sepoi mulai berakselerasi. Menarikan daun-daun di pepohonan. Tanpa sadar Bara tersenyum bangga, karena bendera yang ia pasang tampak berkibar-kibar dalam gerak heroik.

“Kau, Bara..,” suara Paman Gani kembali memokuskan pikiran Bara yang sempat melayang. “Kenapa ayahku, kakekmu, memberimu nama Bara, tidak lain supaya engkau mewarisi nilai keluarga kita yang begitu mencintai negeri ini. Kakekmu seorang pejuang di era revolusi dulu. Ia berharap bara patriotisme selalu menyala di dalam dirimu, cucunya.”

“Paman sendiri, apakah masih mencintai negeri ini?” Bara memberanikan diri menanyakan itu. Sebab ia tahu orang di sebelahnya ini masuk kategori makhluk kritis, sinis, bahkan kerap nyinyir, sejauh kaitannya dengan pemerintah yang dalam banyak hal adalah representasi negara itu sendiri.

Paman Gani menghela napas dengan berat. “Entahlah…” Ia menggeleng lemah. “Jika menuruti darah juang di keluarga kita, tentu saja pamanmu ini termasuk pecinta tanah air. Akan tetapi jika melihat kebobrokan para pengelola negara ini, serasa cinta itu bertepuk sebelah tangan,” ucapnya getir. Tatapannya kosong.

“Negeri kita yang dibangun di atas tumpahan darah para pahlawan, seolah diubah oleh mereka menjadi tanah gersang bagi patriotisme untuk bertumbuh,” sambungnya mengeluh.

Bara tertunduk dalam. Merasa sedih dan tak tega mengiyakan, tapi pada saat yang sama tak cukup punya argumen untuk membantah.

“Engkau wahai keponakanku hendaknya belajar dari pengalaman hidupku, agar tak perlu berlebihan dalam perilaku patriotik. Aku takut engkau akan kecewa nantinya manakala menyadari bahwa justru orang-orang yang tak sepatriotik dirimu yang lebih punya akses terhadap aset negeri. Tetapi aku paham, kau masih muda. Kecintaanmu yang polos pada bangsa tentu terpupuk oleh tempaan Guru Sejarah, Guru PPKn, dan pendidik lain. Yang mengajarkan segala sesuatu berdasarkan nilai-nilai ideal, sedangkan realitas kadang tak selalu sejalan dengan nilai-nilai itu.”

“Tidak hanya itu paman,” sergah Bara. “Rasa patriotismeku terbentuk awalnya seperti dikatakan paman tadi, karena tradisi keluarga kita yang memang keluarga pejuang. Dipupuk cerita demi cerita tentang keikhlasan, keberanian, bahkan kenekatan kakek saat berperang melawan penjajah dulu. Ibu, dan paman sendiri yang selalu mengisahkan semua itu sejak aku kecil.”

“Jika tak banyak kesaksian dari teman seperjuangannya, aku dan ibumu tak mungkin bisa mengisahkan itu semua,” sahut Paman Gani.

“Jujur, aku tak bisa mengingat wajah kakek saat beliau memandangku, atau menggendongku saat aku bayi, seperti cerita ibu. Aku cuma mengenalinya lewat foto buram di dinding ruang tamu. Menurutku paman mirip dengan beliau.” Bara menatap pamannya lekat-lekat.

Yang ditatap tersenyum bangga.

“Tapi aku selalu ingat,” sambung Bara. “Saat masih kecil paman sering memakaikan seragam lusuh kakek yang masih ada sisa noda darah, bekas peluru Belanda yang menerkam paha beliau dalam sebuah pertempuran. Seiring dengan itu, paman selalu membisikkan pesan di telingaku, ingat kamu adalah cucu pejuang. Negeri ini bisa merdeka karena keberanian para pejuang itu. Dan kakekmu adalah salah satunya. Banggalah dalam menjalani hidup. Jangan pernah takut dengan karang yang menghadang!”

Paman Gani tertegun, seakan diingatkan pada sesuatu yang telah lama hilang oleh penuturan keponakannya itu.

“Itu semua yang menebalkan rasa cinta tanah airku paman, selain faktor pendidikan di sekolah. Itu semua pula yang mendorongku memilih kuliah sejarah seperti sekarang,” pungkas Bara. Selaku keponakan yang baik, ia memahami kenapa karakter pamannya terbentuk jadi pribadi yang apatis dan sinis, jika menyangkut kehidupan berbangsa saat ini. Seperti yang dikisahkan ibunya, ‘Dulgani’ kecil tumbuh layaknya Bara sekarang, bahkan melebihinya dalam ekspresi kebangsaan. Maklum anak pejuang. Di sekolah ia aktif di gerakan kepanduan serta beragam kegiatan sejenis.

Perubahan drastis patriot muda itu mulai muncul saat mengalami kekalahan demi kekalahan dalam kompetisi karir. Mulai seleksi Paskibraka, tes CPNS, tes Polisi, dan seabrek seleksi lain di mana hasilnya lebih ditentukan oleh relasi kuasa dan relasi duit. Perkara ini memang sulit dibuktikan, tapi demikianlah konon pengalaman yang ia dapat. Sejak saat itu, tampillah pribadi Paman Gani seperti sekarang, sinis dan apatis pada negara, lebih tepatnya pada pemerintah terutama pada kemunafikan banyak pejabatnya. Ia bahkan pernah nyaris membanting TV saat layarnya menampilkan seorang pejabat yang berpidato tentang pentingnya integritas dalam refomasi birokrasi, demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan profesional. Juga tentang pentingnya kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan anggaran demi kemakmuran rakyat.

Ia murka, karena dalam kenyataannya perilaku korup, kolutif, dan nepotistik sang pejabat telah jadi rahasia umum. “Kejujuran dari Hongkoooong!!!” teriaknya seraya meraih TV untuk dibanting. Tapi untungnya masih sempat dicegah kakaknya, ibunya Bara. Belakangan terbukti, pejabat itu masuk bui sehabis terkena OTT KPK. Makanya setiap mendapati orang-orang berbicara idealisme, apalagi tentang rasa cinta tanah air, Paman Gani cenderung bereaksi negatif. Seakan Merah Putih telah patah di hatinya. Tapi ia paman yang baik bagi Bara. Kehadiran seorang paman sebaik dan seperhatian Dulgani untuk seorang anak yang ditinggal sang ayah semenjak di kandungan, tentu saja membuat Bara menemukan sosok ayah pengganti pada dirinya.

Di luar itu semua, cuaca yang tadi berubah mendung kini menjadi ekstrim. Langit benar-benar jadi gelap. Hembusan angin menggila, dan …. PRAAKKK!!! Tiang bendera bambunya Bara patah! Merah Putih itu meluncur jatuh, namun sebelum menyentuh bumi secepat kilat Paman Gani telah ada di sana. Melompat dan mendarat dengan posisi telentang di tanah, sementara kedua tangannya mencengkeram erat bagian atas patahan bambu di mana sang saka terikat.

“Takkan kubiarkan benda ini terhina dalam hempasan. Demi menegakkannyalah alasan orang-orang tua kita dulu rela berkorban nyawa!” Dalam rebahnya masih sempat Paman Gani ‘berpidato’.

“Lekas kaucari tiang penggantiii!!” teriaknya kepada Bara. Sementara air hujan mulai berjatuhan.

Bara bergegas lari ke samping rumah. Meski masih bingung, lupa di mana menaroh tiang bendera pembagian Pak Sekdes, namun di bawah hujaman garis-garis air langit, Bara berteriak bangga. Pamannya, walau dibolak-balik seperti apa, faktanya beliau tetap seorang patriotik sejati. Jika orang seapatis dan sesinis dirinya saja begitu mencintai Merah Putih, Bara yakin negeri ini masih punya masa depan.

Bahwa gara-gara para oknum penguasa, Indonesia saat ini seperti kata pamannya tadi, ibarat lahan gersang bagi patriotisme untuk bertumbuh, maka adalah tugas kita semua untuk menyuburkannya kembali. Kesadaran akan hal ini, entah kenapa membuatnya serasa terbebas dari beban yang begitu berat. Tapi di mana tiangnya Pak Sekdes ya?

Bara celingukan di samping rumah, di gemuruh hujan.

****************

*juga menggugah: https://www.kompasiana.com/norpikriadi89642/618b577c2a96096f862fd642/kepahlawanan-tak-boleh-mati

Penulis: Norpikriadi

Seorang Pembelajar

Tinggalkan komentar